Pendidikan Pesantren Masih Dimarjinalkan

4 01 2011

oleh : Drs.H. Nasrudin
Pendidikan Pondok Pesantren (ponpes) selama kurun waktu 33 tahun termarjinalkan. Padahal tujuan pendidikan nasional antara lain untuk meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT. Tentu, pabrik yang paling hebat untuk mencetak insan yang bertakwa adalah pesantren.

“Anehnya, pemerintah memarjinalkan pendidikan pesantren,” ujar Ketua Pengurus Cabang (PC) Rabithah Mahad Islamiyah (RMI) Brebes Drs H Nasrudin di sela silaturahmi Hafidz-Hafidzoh Se Kabupaten Brebes di pesantren Modern Al Falah Jatirokeh Songgom (1/1).

Pesantren itu, kata Nasrudin, adalah juru selamat bangsa. Sejarah membuktikan betapa dasyatnya perjuangan santri dalam membela dan mempertahankan bangsa. Termasuk di era modern, pesantren menjadi benteng pertahanan akhlakul karimah. “Ponpes memberi kontribusi besar pada pendidikan nasional,” ungkapnya.

Selain itu, pesantren tidak terkontaminnasi perubahan zaman. Tidak ada dalam catatan sejarah, kalau santri antar pesantren terlibat tawuran. Justru sebaliknya, ketika negara digoncang sehingga tidak kondusif, kalangan ulama dan santri menggelar istighosah. Memberi solusi kedamaian dan ketentraman semua pihak.

Nasrudin menegaskan, bahwa pendidikan itu tanggung jawab bersama. Termasuk pendidikan di pesantren menjadi tanggung jawab pemerintah juga. Bukan hanya pengelola pesantren dan orang tua santri.

“Selama ini, pengelola pendidikan pesantren dibiarkan mencari sarana prasarana, guru hingga pendanaannya sendiri,” ungkit Nasrudin yang juga anggota Komisi X DPR RI yang membidangi pendidikan, pemuda dan olah raga, budaya dan pariwisata serta perpustakaan nasional itu.

Dana pendidikan, sambungnya, juga harusnya digelontorkan pula ke pesantren. Jangan sampai pendidikan keagamaan dikesampingkan. “Pesantren dan madrasah bukan pendidikan kelas dua,” tandasnya.

Mantan Ketua DPRD Brebes ini mengkritik, anggaran 20 persen di APBN maupun APBD belum terpenuhi. Karena telah terjadi pembohongan publik dengan mencampur anggaran pendidikan dengan gaji guru dan dosen. Padahal seharusnya gaji guru dimasukan ke DAU, ke pos belanja pegawai. “Tidak dicampur ke dalam pos dana pendidikan, ini pembohongan publik sehingga terkesan dana pendidikan sudah mencapai 20 persen,” gugatnya.

Bila anggaran pendidikan mencapai 20 persen, sambungnya, diyakini masyarakat tidak perlu mikir dana sekolah. Akibat belum terpenuhinya anggaran 20 persen pendidikan, masyarakat tidak ikut menikmatinya. Karena masih ada pungutan dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Padahal masyarakat juga harus mendanai anak-anaknya dengan uang saku, uang transport, uang buku, uang internet dan lain-lain.

Nasrudin bangga dengan rencana Menteri pendidikan nasional (Mendiknas) yang menggulirkan program Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berbasis pesantren. Program ini diharapkan menjadi solusi pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan di pesantren. Sehingga lulusan pesantren benar-benar ready for use, siap pakai. Perpaduan pendidikan ketrampilan dan keagamaan, akan menjamin kemampuan santri yang paripurna.

“Santri ready for use, akan menjawab semua tantangan zaman,” pungkasnya. (was) NU Online


Aksi

Information

Tinggalkan komentar